Cirebon Online
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Kabupaten Cirebon, – Di Indonesia masih kekurangan puluhan ribu dokter spesialis. Oleh sebab itu, pemerintah mencari terobosan dengan membuka kesempatan rumah sakit menyelenggarakan pendidikan, sebagaimana fakultas kesehatan.
Pada kesempatan tersebut, RSUD Waled bersama Universitas kedokteran Padjajaran Bandung, akan mengadakan pendidikan dokter spesialis sebagai tempat pendidikan.
Kegiatan ini merupakan terobosan Pimpinan RSUD Waled untuk kemajuan dan profesionalisme dokter, khususnya dokter spesialis demi untuk meningkatkan kesembuhan pasien yang berobat dari berbagai masyarakat di Jawa Barat juga Jawa Tengah.
Hal ini disampaikan direktur RSUD Waled dr. H. Mohamad Luthfi, Sp.,PD., KHOM.,FINASIM., MMRS., bahwa pemerintah menargetkan rasio dokter spesialis dibanding jumlah penduduk adalah 0,28/1.000. Untuk mencapai standar ideal, Indonesia kekurangan 30 ribu dokter spesialis.
Begitu kurangnya dokter spesialis, sampai saat ini 40 persen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) masih ada yang belum memiliki tujuh jenis dokter spesialis dasar.
“Ketujuh dokter spesialis yang seharusnya ada di setiap rumah sakit adalah penyakit dalam, kandungan, bedah, anak, anestesi, radiologi, dan patologi klinis,” ungkapnya. Senin (11/12/2023).
Masih kata direktur RSUD Waled, pada dasarnya skema tersebut bentuk gotong royong antara rumah sakit dan kampus, khususnya fakultas kedokteran dengan jaringan rumah sakit di seluruh wilayah.
“Fakultas kedokteran juga tidak sendiri, ada jaringan Fakultas Kedokteran yang ada di wilayah,” paparnya.
Ditambahkan dr Luthfi, merinci konsep ini akan bertumpu pada kebutuhan setiap regional. Fakultas Kedokteran dan rumah sakit di kawasan tertentu dapat bekerja sama, diawali dengan memetakan kebutuhan dokter spesialis sampai ke tingkat terkecil di kecamatan.
Kemudian, lanjut dr. Luthf dalam menyelenggarakan program studi profesi dokter spesialis untuk memenuhi kebutuhan secara kewilayahan di rumah sakit daerah seperti RSUD Waled.
Dan, kekurangan dokter spesialis di suatu wilayah untuk mendidik calon spesialis, bisa dimobilisasi dari rumah sakit yang memenuhi persyaratan tersebut.
dr. Luthfi juga menegaskan, baik dokter spesialis yang masuk karena ikatan dinas Kemenkes, maupun seleksi mandiri oleh fakultas kedokteran, harus memenuhi jaminan mutu yang setara.
Afirmasi dan matrikulasi dipandang perlu untuk dokter-dokter dari wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).
Seluruh konsep ini tertuang dalam RUU Kesehatan yang baru, dimana pemerintah memberi peluang rumah sakit berperan selayaknya fakultas kedokteran, yang mendidik dokter spesialis. Konsep ini disebut sebagai Academic Health System (AHS). Skema ini diklaim dipraktikkan di banyak negara lain.
“Harus ada standar proses, standar sumber daya manusia dan standar sarana/prasarana. Namun bagaimanapun, rumah sakit dan universitas berbeda, dan karena itu banyak hal harus diselesaikan dengan diskusi bersama,” terangnya.
Luthfi juga menekankan perlunya menghasilkan dokter spesialis di rumah sakit, dengan kualitas seperti yang dihasilkan perguruan tinggi dan
membutuhkan terobosan untuk kemajuan pelayanan kesehatan bagi masyarakat atau pasien secara maksimal dan profesional.
” Alhamdulillah dengan adannya Mou kegiatan pendidikan akademisi spesial dokter, ini merupakan suatu prestasi dan kepercayaan dari fakultas kedokteran Universitas Padjajaran untuk dokter di RSUD Waled,” Pungkasnya. (Toto M Said)